kita kembali ke laptop..... kalo gk punya laptop komputer juga boleh
hari ini mimin akan update tentang Kumpulan Cerpen Pendek dan Singkat
berikut ini adalah koleksi cerpen pendek dan singkat yang mimin punya :
“Aku tak ingin kehilangan ibu, aku tak ingin sendiri….,” kataku sambil menatap matanya yang masih tertutup rapat. Lama rasanya aku hidup sendiri. Rumah ini mendadak menjadi sepi tanpa teriakan ibu.
Senja telah memerah jingga ketika aku duduk di teras depan rumah. Dengan perlahanmentari mulai pergi meninggalkanku setelah sempat menyoroti saat aku minum teh hangat sendiri. Setahun yang lalu ibu masih menemaniku duduk di beranda rumah ini sekedar mendengar ceritaku dan tertawa bersama saat ada hal lucu yang ibu ceritakan. Sangat indah sekali.
Kini aku hanya bisa duduk sendiri di teras ini. Ibu yang hanya bisa berbaring di tempat tidur tak mungkin lagi bisa duduk menemaniku, karena raganya telah ditelan waktu. Diatelah mengalami kelumpuhan total.
Tanpa terasa air mataku pun jatuh setelah mengingat masa-masa indah bersama ibu. Dihatiku hanya ada ibu. Sejak aku lahir hingga sekarang, ibu adalah satu-satunya orangtuaku. Menurut ibu, ayah telah pergi sebelum aku lahir dan ia tak pernah kembali. Aku kini sangat benci ayahku.
Setelah kuhabiskan tehku, aku langkahkan kakiku ke kamar ibu. Lalu aku duduk disamping tubuhnya yang lemah tak berdaya dan terbaring di ranjang tua. Kubelai rambutnya yang hampir semua memutih, kerutan-kerutan yang terdapat di wajahnya kini tidak hanya ada di dahi, tapi juga di pipi sehingga kerutannya semakin terlihat nyata.
“Ibu…aku sayang sekali sama ibu….” bisikku kepadanya. Aku memanggilnya berulang-ulang dengan perlahan sekali, agar tidak mengganggu istirahatnya. Aku genggam tangannya dengan lembut. Lalu kuusap-usap punggungnya, hal yang sudah sering aku lakukan bila tidur berdua dengannya.
Kadang dadaku sakit dan sesak rasanya bila aku melihat ibu tetap tersenyum dan berkata,
“Ibu sehat kok, nak…ibu tidak apa-apa….,” Padahal ia sama sekali tidak dapat bergerak sedikitpun. Tak terasa air mataku jatuh kembali membasahi pipiku. Aku tak dapat menahan tangisku. Air mata ini terus berhamburan semakin banyak dan mengalir semakin deras ketika sekelebat ku ingat siapa ayahku. Ibu bilang meninggalkan kita berdua tanpa pamit dan pergi entah kemana. Hingga kini aku tidak tahu dimana rimbanya. Dimana sebenarnya dia? Tidak ingatkah pada ibu? Tidak tahukah ibu sedang sakit?
Tiba-tiba tanganku menggenggam tangan ibu semakin erat,
“Aku tak ingin kehilangan ibu, aku tak ingin sendiri….,” kataku sambil menatap matanya yang masih tertutup rapat. Lama rasanya aku hidup sendiri. Rumah ini mendadak menjadi sepi tanpa teriakan ibu. Ibu selalu memanggilku bila tidak ada didekatnya. Sore itu mentari benar-benar telah pergi. Langit mulai ditelan gelap. Sementara aku masih menemani ibu yang masih terus berbaring.
“Ibu…cepat sembuh ya bu…,” Aku mencium wajah ibu sambil kucoba menahan diri dan tersenyum untuknya. Namun tiba-tiba kurasakan tangan yang ku genggam itu menjadi dingin. Lalu kulihat lagi wajahnya, kulepaskan genggamanku dan kuperiksa nafasnya. Tetapi tak kurasakan ada angin yang menyentuhku dari hidungnya.
Kemudian kupegang pergelangan tangannya, tak ada tanda-tanda. Ku dekatkan telinggaku didadanya. Tak kudengar detak jantungnya. Sudah pergikah ibu? Sungguh aku tak percaya. Air mataku kembali mengalir setelah beberapa menit terhenti.
“Ibuuuuuuuuuu…!!!” teriakku keras berharap teriakanku akan mengembalikan nyawanya yang telah diambil. Namun ibu tetap telah tiada. Aku menangis sejadi-jadinya dan memeluk tubuhnya yang terbujur kaku.-
MEMELUK IBU PERGI
“Aku tak ingin kehilangan ibu, aku tak ingin sendiri….,” kataku sambil menatap matanya yang masih tertutup rapat. Lama rasanya aku hidup sendiri. Rumah ini mendadak menjadi sepi tanpa teriakan ibu.
Senja telah memerah jingga ketika aku duduk di teras depan rumah. Dengan perlahanmentari mulai pergi meninggalkanku setelah sempat menyoroti saat aku minum teh hangat sendiri. Setahun yang lalu ibu masih menemaniku duduk di beranda rumah ini sekedar mendengar ceritaku dan tertawa bersama saat ada hal lucu yang ibu ceritakan. Sangat indah sekali.
Kini aku hanya bisa duduk sendiri di teras ini. Ibu yang hanya bisa berbaring di tempat tidur tak mungkin lagi bisa duduk menemaniku, karena raganya telah ditelan waktu. Diatelah mengalami kelumpuhan total.
Tanpa terasa air mataku pun jatuh setelah mengingat masa-masa indah bersama ibu. Dihatiku hanya ada ibu. Sejak aku lahir hingga sekarang, ibu adalah satu-satunya orangtuaku. Menurut ibu, ayah telah pergi sebelum aku lahir dan ia tak pernah kembali. Aku kini sangat benci ayahku.
Setelah kuhabiskan tehku, aku langkahkan kakiku ke kamar ibu. Lalu aku duduk disamping tubuhnya yang lemah tak berdaya dan terbaring di ranjang tua. Kubelai rambutnya yang hampir semua memutih, kerutan-kerutan yang terdapat di wajahnya kini tidak hanya ada di dahi, tapi juga di pipi sehingga kerutannya semakin terlihat nyata.
“Ibu…aku sayang sekali sama ibu….” bisikku kepadanya. Aku memanggilnya berulang-ulang dengan perlahan sekali, agar tidak mengganggu istirahatnya. Aku genggam tangannya dengan lembut. Lalu kuusap-usap punggungnya, hal yang sudah sering aku lakukan bila tidur berdua dengannya.
Kadang dadaku sakit dan sesak rasanya bila aku melihat ibu tetap tersenyum dan berkata,
“Ibu sehat kok, nak…ibu tidak apa-apa….,” Padahal ia sama sekali tidak dapat bergerak sedikitpun. Tak terasa air mataku jatuh kembali membasahi pipiku. Aku tak dapat menahan tangisku. Air mata ini terus berhamburan semakin banyak dan mengalir semakin deras ketika sekelebat ku ingat siapa ayahku. Ibu bilang meninggalkan kita berdua tanpa pamit dan pergi entah kemana. Hingga kini aku tidak tahu dimana rimbanya. Dimana sebenarnya dia? Tidak ingatkah pada ibu? Tidak tahukah ibu sedang sakit?
Tiba-tiba tanganku menggenggam tangan ibu semakin erat,
“Aku tak ingin kehilangan ibu, aku tak ingin sendiri….,” kataku sambil menatap matanya yang masih tertutup rapat. Lama rasanya aku hidup sendiri. Rumah ini mendadak menjadi sepi tanpa teriakan ibu. Ibu selalu memanggilku bila tidak ada didekatnya. Sore itu mentari benar-benar telah pergi. Langit mulai ditelan gelap. Sementara aku masih menemani ibu yang masih terus berbaring.
“Ibu…cepat sembuh ya bu…,” Aku mencium wajah ibu sambil kucoba menahan diri dan tersenyum untuknya. Namun tiba-tiba kurasakan tangan yang ku genggam itu menjadi dingin. Lalu kulihat lagi wajahnya, kulepaskan genggamanku dan kuperiksa nafasnya. Tetapi tak kurasakan ada angin yang menyentuhku dari hidungnya.
Kemudian kupegang pergelangan tangannya, tak ada tanda-tanda. Ku dekatkan telinggaku didadanya. Tak kudengar detak jantungnya. Sudah pergikah ibu? Sungguh aku tak percaya. Air mataku kembali mengalir setelah beberapa menit terhenti.
“Ibuuuuuuuuuu…!!!” teriakku keras berharap teriakanku akan mengembalikan nyawanya yang telah diambil. Namun ibu tetap telah tiada. Aku menangis sejadi-jadinya dan memeluk tubuhnya yang terbujur kaku.-
Dan ini koleksi cerpen pendek dan singkat koleksi mimin yang ke dua :
Salju Putih Di Rotterdam
Aku selalu rindu saat-saat seperti itu, ketika salju jatuh di Rotterdam. Sering kau genggam tanganku , kita berjalan menembus putih hari penuh salju. Hangat tanganmu bisa kurasakan dari balik sarung tangan rajutan warna coklat tua itu. Aku ingat masa-masa itu, kita sering melewatkan setengah petang menghangatkan badan dengan secangkir kopi hangat di De Veranda Resto.
Di tempat itu pula kencan pertama kita. Tentu kau ingat itu juga bukan? Ku harap demikian. Katamu, makanan di sini murah. Kamu bisa menikmati semangkok split-pea soup sembari memandang salju yang jatuh di balik kaca jendela. Tempat ini cocok untuk mahasiswa perantau seperti kita. Kamu memang pandai berpromosi ria. Aku tak perlu heran tentang itu. Kamu pun sering mempromosikan keelokan pulau Dewata Bali, pesona pantai dan gugusan kepulauan Raja Ampat, kemegahan Borobudur dan Prambanan, keanggunan batik hingga sejuta pesona nusantara lainnya pada teman-teman sekampus, orang-orang di apartemen dan tentunya beberapa pengunjung di De Veranda Resto. Kamu memperkenalkan Indonesia dengan begitu bangga, sebuah negeri yang selalu disinari hangat cahaya matahari, negeri yang pernah "dikunjugi" nenek moyang orang-orang kota ini-nenek moyang bangsa ini.
“Aku akan membawamu mengitari rimbun pepohonan di Vroesenpark* bila musim semi telah tiba” katamu suatu siang ketika kita menikmati hari terakhir kuliah sebelum libur Natal. Tanganmu menunjuk persis ke utara , mencari Vroesenpark dari balik kaca jendela. Mataku menelisik jauh mengikuti irama tanganmu, tetapi rupa Vroesenpark itu tak juga bisa kupandangi eloknya. Di luar, salju berjatuhan ringan, menghalangi kerinduanku akan musim semi dan rimbun pohon di Vroesenpark.
Dan kini musim semi hampir pasti berganti. Tak ada lagi kehangatan tanganmu seperti ketika salju putih jatuh di Rotterdam kala itu. Kamu telah pergi, menghilang seiring berlalunya musim. Kabar terakhir yang kudengar, kamu kembali ke tanah air untuk menikah. Tentu dengan wanita pilihan orang tuamu yang juga sederajat. Aku tahu itu dari foto profilmu di Facebook. Bisa ku lihat aura bahagia dari selekat senyum yang tak lagi asing dimataku. Di sampingmu, berdiri anggun seorang wanita memegang seikat mawar putih. Bahagia kau kini.
Di sini musim salju sudah berlalu. Salju-salju putih itu telah mencair, menghilang dan tak berbekas ditelan musim semi. Persis seperti cintaku, telah menghilang dan pergi, entah dimana kini. Aku terdiam, mencoba tegar seperti rimbun pepohonan di Vroesenpark.
Dan ini yang ke tiga :
Diary Merah Muda
Malam semakin larut. Entah kenapa mataku belum terpejam. Berbagai peristiwa yang ingin kulupakan muncul kembali ke permukaan.
Kulirik sepintas diary berwarna merah muda itu. Ia masih tergeletak di meja belajar. Enggan kusentuh. Percayalah. Aku tidak menginginkan kehadirannya di ruangan ini. Juga tidak ada ruang spesial buatnya.
Semua berawal dari sebuah perhatian seseorang padaku. Tak pernah kuduga sebelumnya kalau semua ini sangat berlebihan. Ia telah terjebak dalam perangkap perasaannya sendiri. Sungguh aku tidak memasangnya. Tiba-tiba saja ia memberikan kejutan yang berhasil mengejutkanku. Sebuah akhir penuh kejutan.
Ia telah berubah. Perhatiannya itu yang telah mengubahnya. Sialnya aku baru sadar setelah membaca halaman pertama diary merah muda itu:
“Adikku, telah mekar sekuntum mawar merah muda di taman hati Abang. Ia harum semerbak. Wanginya menggugah rasa yang telah lama membuncah di dada.
Sejak bertemu denganmu, hari-hariku kembali berwarna. Aku menemukan keceriaan mentari di wajahmu yang menghangatkan pagiku. Purnama di wajahmu selalu benderang di langit malamku.
Adikku yang jelita, kau adalah sekuntum mawar merah muda itu.
Ya, hanya namamu seorang yang mekar di hati Abang.
Maaf karena Abang baru berani mengungkapkan rasa terpendam ini di hari perpisahan kita. Terimalah hadiah tulusku berupa diary berwarna merah muda ini. Semoga kau mengisi lembar-lembar halaman selanjutnya dengan curahan kata-katamu. Semoga saja makna kebersamaan kita bermekaran di diary ini.
The man who adores you.”
Kubiarkan halaman selanjutnya kosong. Aku tak akan menulis sepatah kata pun. Sebab semuanya, termasuk dirinya, adalah omong kosong !
berikut cerpen pendek dan singkat yang mimin punya
semoga cerpen yang miin punya bisa bermanfaat bagi agan semua Amin...
Tetap Kunjungi Blog Mimin Ya...
EmoticonEmoticon